Rabu, 04 Juni 2008

warisan bagi perempuan di dalam Islam

Membicarakan persoalan warisan bagi perempuan di dalam Islam, tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang kondisi serta perlakuan perempuan sebelum Rasulullah SAW diutus. Yakni kondisi di mana perempuan benar-benar di tempatkan di bawah batas kemanusiaannya. Diperlakukan tidak adil, diperlakukan seperti barang, tidak dianggap sebagai manusia yang seutuhnya serta berbagai label negatif lainnya.
Termasuk dalam hal ini adalah tentang pembagian warisan. Dalam tradisi arab jahiliah kaum wanita tidak mendapat warisan, tetapi mereka sendiri adalah barang yang bisa wariskan. Bahkan anak berhak mewarisi istri dari ayah mereka, meskipun perempuan tersebut adalah ibu kandungnya sendiri.
Selain alasan tersebut, aturan yang berlaku ketik itu adalah bahwa yang berhak menerima warisan adalah mereka yang dapat memanggul senjata untuk berperang di medan laga. Dan dalam kesempatan yang sama, perempuan tidak memiliki hak untuk melakukan tugas ini.
Dari sinilah, ketika nabi Muhammad SAW diutus sebagai rahmat untuk seluruh manusia, peninggalan jahiliyah ini dirubah dan dilakukan penyesuaian. Perempuan kemudian diberikan hak warisan. Firman Allah SWT:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا(النساء، 7)
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (QS. Al-Nisa’ 7)
Pembagian yang ditentukan adalah bahwa perempuan mendapatkan setengah dari bagian laki-laki, agar tidak muncul keguncangan dan penolakan dari masyarakat yang sudah terbiasa dengan budaya tersebut.
Persoalan harta adalah wilayah yang sangat rentan akan konflik. Bahkan dikatakan sebagai akar dari setiap persoalan dan kesalahan (ra’su kulli khati’atin) yang dilakukan oleh manusia. Banyak kawan atau bahkan saudara yang menjadi musuh hanya karena persoalan harta. Inilah bentuk kehati-hatian yang diambil dalam agama Islam.
Inil pula yang menjadi salah satu alasan mengapa persoalan harta warisan dijelasakan dengan sangat rinci dan detail di dalam al-Qur’an, khususnya pada bagian awal dari surat an-Nisa’. Dan tidak ada satu persoalan hukum di dalam al-Qur’an yang lebih jelas dari persoalan warisan ini. Menjadi hukum yang qath’i dalalah (pasti kandungan hukumnya).
Persoalan warisan ini bisa juga dilihat dari kehidupan sosial ekonomi masyarakat arab, di mana kewajiban mencari nafkah untuk keluarga dibebankan sepenuhnya kepada laki-laki. Sementara perempuanadalah kelompok yang dijamin dan ditanggung hidupnya oleh laki-laki. Ketika mereka menikah, mas kawin yang harus dibayarkan pihak laki-laki kepada calon istrinya dipatok sangat tinggi, yang jika dirupiahkan minimal seratus juta rupiah. Belum termasuk rumah dan kendaraan pribadi dan segala pernak pernik lainnya. Bahkan konon di sana, bank menyediakan tabungan khusus untuk biaya pernikahan, sebagaimana tabungan haji di Indonesia.
Kaitannya dengan persoalan yang saudari ajukan, yakni mengenai cucu perempuan. Bahwa berdasarkan dalil yang shahih dari al-Qur’an dan hadits cucu dari anak perempuan tidak termasuk ahli warits, sedangkang cucu dari anak laki bisa mendapat warisan, bisa setengah, tiga perempat, sisa (ashobah) bahkan dalam kondisi tertentu ia tidak mendapat warisan (mahjub), yakni ketika masih ada anak laki-laki atau dua orang anak perempuan.
Persoalan seperti ini sangat masyhur di kalangan fuqaha, sehingga hampir semua kitab menjelaskannya. Syaikh Ali Ash-Shobuni mengarang buku khusus tentang warisan, yang menjelaskan secara detail setiap persoalan warisan.
Khusus untuk persoalan yang saudari alami, tidak bisa dijawab apakah benar atau salah dalam pandangan fiqh, karena belum didapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi yang sesungguhnya. Siapa saja yang menjadi ahli warits, berapa jumlahnya, berapa harta yang diwariskan.
Namun dalam kondisi di mana cucu tidak mendapatkan harta warisan, ada solusi yang ditawarkan fiqh, yakni dengan melaksanakan wasiat wajibah. Kakek dikewajibkan mewasiatkan sejumalah harta untuk cucunya, sehingga ia tetap mendapatkan harta harta peninggalan kakek dengan jalan wasiat tersebut, bukan melalui warisan. Di Mesir hukum ini ketentuan ini telah disahkan diberlakukan dalam sebuah undang-undang. (AL-Fiqh Islami wa Adillatuh, juz VIII hal 351)
Dalam hal ini pemerintah diminta harus lebih pro aktif dengan membuat aturan wasiat wajibah tersebut, sehingga tidak ada lagi anak yatim (cucu perempuan) yang terbengkalai, tidak mendapatkan warisan dari kakaknya. Agar mereka tidak menjadi seperti kata pepatah, ”Sudah jatuh masih tertimpa tangga”
Solusi ini tentu lebih selamat dari pada harus mempertanyakan kembali ketentuan warisan yang telah baku dan diyakini oleh seluruh umat Islam berasal dari dalil qath’i.